BAB
8
PERTENTANGAN
SOSIAL DAN INTEGRASI MASYARAKAT
A. Perbedaan Kepentingan
Kepentingan merupakan
dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena
adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya. Kepentingan ini sifatnya
esensial bagi kelangsungan hidup individu itu sendiri, jika individu berhasil
memenuhi kepentingannya, maka ia akan merasakan kepuasan dan sebaliknya
kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan menimbilkan masalah baik bagi dirinya
maupun bagi lingkungannya.
Dengan berpegang
prinsip bahwa tingkah laku individu merupakan cara atau alat dalam memenuhi
kebutuhannya, maka kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh individu dalam
masyarakat pada hakikatnya merupakan kepuasan pemenuhan dari kepentingan
tersebut.
Oleh karena individu
mengandung arti bahwa tidak ada dua orang yang sama persis dalam aspek-aspek
pribadinya, baik jasmani maupun rohani, maka dengan sendirinya timbul perbedaan
individu dalam hal kepentingannya.
Perbedaan kepentingan
itu antara lain berupa :
1. kepentingan
individu untuk memperoleh kasih sayang
2. kepentingan
individu untuk memperoleh harga diri
3. kepentingan
individu untuk memperoleh penghargaan yang sama
4. kepentingan
individu untuk memperoleh prestasi dan posisi
5. kepentingan
individu untuk dibutuhkan orang lain
6. kepentingan
individu untuk memperoleh kedudukan di dalam kelompoknya
7. kepentingan
individu untuk memperoleh rasa aman dan perlindungan diri
8. kepentingan
individu untuk memperoleh kemerdekaan diri.
Kenyataan-kenyataan
seperti itu menunjukkan ketidakmampuan suatu ideologi mewujudkan idealisme yang
akhirnya akan melahirkan kondisi disintegrasi atau konflik. Permasalahan utama
dalam tinjauan konflik ini adalah adanya jarak yang terlalu besar antara
harapan dengan kenyataan pelaksanaan dan hasilnya kenyataan itu disebabkan oleh
sudut pandang yang berbeda antara pemerintah atau penguasa sebagai pemegang
kendali ideologi dengan berbagai kelompok kepentingan sebagai sub-sub ideologi.
Perbedaan kepentingan
ini tidak secara langsung menyebabkan terjadinya konflik tetapi mengenal
beberapa fase yaitu:
1. fase
disorganisasi yang terjadi karena kesalahpahaman.
2. fase
dis-integrasi yaitu pernyataan tidak setuju.
fase dis-integrasi ini
memiliki tahapan (Menurut Walter W. Martin dkk):
- ketidaksepahaman
anggota kelompok tentang tujuan yang dicapai.
- norma
sosial tidak membantu dalam mencapai tujuan yang disepakati.
- norma
yang telah dihayati bertentangan satu sama lain.
- sanksi
sudah menjadi lemah
- tindakan
anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma kelompok.
B. Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentris
Prasangka
Prasangka atau
prejudice berasal dari kata latian prejudicium, yang pengertiannya sekarang
mengalami perkembangan sebagia berikut :
semula diartikan
sebagai suatu presenden, artinya keputusan diambil atas dasar pengalaman yang
lalu dalam bahas Inggris mengandung arti pengambilan keputusan tanpa
penelitian dan pertimbangan yagn cermat, tergesa-gesa atau tidak matang untuk
mengatakan prasangka dipersyaratkan pelibatan unsur-unsur emosilan (suka atau
tidak suka) dalam keputusan yang telah diambil tersebut
Dalam konteks rasial,
prasangka diartikan:”suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras
tertentu, yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi ”. Dalam hal ini
terkandung suatu ketidakadilan dalam arti sikap yang diambilkan dari beberapa
pengalaman dan yang didengarnya, kemudian disimpulkan sebagai sifat dari
anggota seluruh kelompok etnis.
Prasangka (prejudice)
diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu
buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu. Baha arab menyebutnya “sukhudzon”.
Orang, secara serta merta tanpa timbang-timbang lagi bahwa sesuatu itu buruk. Dan
disisi lain bahasa arab “khusudzon” yaitu anggapan baik terhadap sesuatu.
Prasangka menunjukkan
pada aspek sikap sedangkan diskriminasi pada tindakan. Menurut Morgan (1966)
sikap adalah kecenderungan untuk merespon baik secara positif atau negarif
terhadap orang, obyek atau situasi. Sikap seseorang baru diketahui setelah ia
bertindak atau beringkah laku. Oleh karena itu bisa saja bahwa sikap
bertentangan dengan tingkah laku atau tindakan. Jadi prasangka merupakan
kecenderungan yang tidak nampak, dan sebagai tindak lanjutnya timbul tindakan,
aksi yang sifatnya realistis. Dengan demikian diskriminatif merupakan tindakan
yang relaistis, sedangkan prsangka tidak realistis dan hanya diketahui oleh
diri individu masing-masing.
Prasangka ini sebagian
bear sifatnya apriori, mendahului pengalaman sendiri (tidak berdasarkan
pengalaman sendiri), karena merupakan hasil peniruan atau pengoperan langsung
pola orang lain. Prasangka bisa diartikan suatu sikap yang telampau
tergesa-gesa, berdasarkan generalisasi yang terlampau cepat, sifat berat
sebelah, dan dibarengi proses simplifikasi (terlalu menyederhanakan) terhadap
sesuatu realita. Dalam kehidupan sehari-hari prasangka ini banyak dimuati
emosi-emosi atau unsure efektif yang kuat.
Tidak sedikit orang
yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar
berprasangka. Mengapa terjadi perbedaan cukup menyolok ? tampaknya kepribadian
dan inteligensi, juga factor lingkungan cukup berkaitan engan munculnya
prasangka. Orang yang berinteligensi tinggi, lebih sukar berprasangka, mengapa
? karena orang-orang macam ini berikap dan bersifat kritis. Prasangka bersumber
dari suatu sikap. Diskriminasi menunjukkan pada suatu tindakan. Dalam pergaulan
sehari-hari sikap prasangka dan diskriminasi seolah-olah menyatu, tak dapat
dipisahkan. Seseorang yagn mempunyai prasangka rasial, biasanya bertindak
diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu, biasa saja
seseorang bertindak diskriminatof tanpa latar belakang prasangka. Demikian jgua
sebaliknya seseorang yang berprasangka dapat saja bertindak tidak
diskriminatif.
Sebab-sebab timbulnya
prasangka dan diskriminasi :
- berlatar
belakang sejarah
- dilatar-belakangi
oleh perkembangan sosio-kultural dan situasional
- bersumber
dari factor kepribadian
- berlatang
belakang perbedaan keyakinan, kepercayaan dan agama
- Usaha-usaha
mengurangi/menghilangkan prasangka dan diskriminasi
- Perbaikan
kondisi sosial ekonomi
- Perluasan
kesempatan belajar
- Sikap
terbuka dan sikap lapang
- Diskriminasi
Diskriminasi merujuk
kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan
ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan
yang lain.
Ketika seseorang
diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan,
kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau
karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi.
Diskriminasi langsung,
terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan
menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak
langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif
saat diterapkan di lapangan.Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi dapat
terjadi dalam berbagai macam bentuk:
- dari
struktur upah,
- cara
penerimaan karyawan,
- strategi
yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
- kondisi
kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
- Diskriminasi
di tempat kerja berarti mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional
dan pribadinya tanpa mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori statistik
diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat mengontrol
produktivitas pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha cenderung
menyandarkan diri pada karakteristik-karakteristik kasat mata, seperti ras atau
jenis kelamin, sebagai indikator produktivitas, seringkali diasumsikan anggota
dari kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih rendah.
· Etnosentris
Etnosentrisme cenderung
memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan
mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. “ ( The Random House Dictionary
).
Ada satu suku Eskimo
yang menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati” [Herbert,
1973, hal.2]. Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang
secara formal didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri”
adalah pusat segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan
kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi
jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur
dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya
menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme,
yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk
penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan
kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung
melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling
baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin
memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan”
seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup
menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing
dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif
bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan
baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray,
1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi
yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian,
dalam kadar etnosentris seseorang.
C.
Pertentangan Sosial Ketegangan Masyarakat
Konflik mengandung
pengertian tingkah laku yang lebih luas daripada yang biasa dibayangkan orang
dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar atau perang. Dalam hal
ini terdapat tiga elemen dasar yang merupakan ciri dari situasi konflik, yaitu
:
1. Terdapat
dua atau lebih unit-unit atau bagian yang terlibat dalam konflik.
2. Unit-unit
tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan, tujuan,
masalah, sikap, maupun gagasan-gagasan.
3. Terdapat
interaksi diantara bagian-bagian yang mempunyai perbedaan tersebut.
Konflik merupakan suatu
tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang sering dihubungkan
dengan kebencian atau permusuhan, konflik dapat terjadi pada lingkungan :
a. pada
taraf di dalam diri seseorang, konflik menunjuk adanya pertentangan,
ketidakpastian atau emosi dan dorongan yang antagonistic dalam diri seseorang.
b. pada
taraf kelompok, konflik ditimbulkan dari konflik yang terjadi dalam diri
individu, dari perbedaan pada para anggota kelompok dalam tujuan, nilai-nilai
dan norma, motivasi untuk menjadi anggota kelompok, serta minat mereka.
c. pada
taraf masyarakat, konflik juga bersumber pada perbedaan antara nilai-nilai dan
norma-norma kelompok dengan nilai-nilai dan norma-norma dimana kelompok yang
bersangkutan berada.
Adapun cara
pemecahan konflik tersebut :
1. Elimination, pengunduran
diri dari salah satu pihak yang terlibat konflik
2. Subjugation atau Domination,
pihak yang mempunyai kekuasaan terbesar dapat memaksa pihak lain untuk mengalah
3. Majority
Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting
4. Minority
Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak
merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta kesepakatan untuk melakukan
kegiatan bersama
5. Compromise,
artinya semua sub kelompok yang terlibat dalam konflik berusaha mencari dan
mendapatkan jalan tengah
6. Integration,
artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan
ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi
semua pihak
D. Golongan-Golongan
yang Berbeda dan Integrasi Sosial
Masyarakat Indonesia
digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai
suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kesatuan nasional yang
berwujudkan Negara Indonesia. Aspek-aspek dari kemasyarakatan :
Suku bangsa dan
kebudayaannya.
Agama
Bahasa
Nasional Indonesia.
Masalah besar yang
dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi diantara
masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian
persatuan. Masyarakat majemuk tetap berada pada kemajemukkannya, mereka dapat
hidup serasi berdampingan (Bhineka Tunggal Ika), berbeda-beda tetapi merupakan
kesatuan. Adapun hal-hal yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi:
- Tuntutan
penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya
- Isu
asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antar warga
negara Indonesia asli dengan keturunan (Tionghoa,arab)
- Agama,
sentimen agama dapat digerakkan untuk mempertajam perbedaan kesukuan
- Prasangka
yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu.
E. Integrasi Nasional
Integritas Nasional
identik dengan integritas bangsa yang mempunyai pengertian suatu proses
penyatuan atau pembauran berbagai aspek sosial budaya ke dalam kesatuan wilayah
dan pembentukan identitas nasional atau bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
1989) yang harus dapat menjamin terwujudnya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan dalam mencapai tujuan bersama sebagai suatu bangsa. Integritas
nasional sebagai suatu konsep dalam kaitan dengan wawasan kebangsaan dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berlandaskan pada aliran pemikiran/paham
integralistik yang dicetuskan oleh G.W.F. Hegl (1770-1831).
Pengertian ini
berhubungan dengan paham idealisme untuk mengenal dan memahami sesuatu harus
dicari kaitannya satu dengan yang lain. Dan untuk mengenal manusia harus
dikaitkan dengan masyarakat di sekitarnya dan untuk mengenal suatu masyarakat
harus dicari kaitannya dengan proses sejarah.
Istilah Integritas
Nasional terdiri dari dua kata yaitu “Integritas” dan “Nasional”. Istilah
“integritas” mempunyai arti “mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan
kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan
kewibawaan” (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2005), sedangkan istilah
“nasional” mempunyai arti kebangsaan, bersifat bangsa sendiri yang meliputi
suatu bangsa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), berupa adat istiadat, suku,
warna kulit, keturunan, agama, budaya, wilayah/daerah. Integritas nasional
wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa Indonesia dalam kehidupan
bernegara (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, 2008).
Setelah pengertian
integrasi kita dikupas di atas, maka disintegrasi bangsa dapat dikatakan lawan
arti dari integrasi bangsa. Disintegrasi bangsa sangat membahayakan keberadaan
Negara ini dalam percaturan kehidupan bernegara di dunia. Dapat diartikan pula
kondisi pecahnya kesatuan dan persatuan bangsa kita. Persatuan dan kesatuan ini
dapat dilihat dalam kontek kewilayahan maupun kebangsaan yang meliputi kesatuan
ekonomi, politik, social budaya, ideology dan pertahanan keamanan.
F. Pendapat
Kepentingan merupakan
dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku karena
adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya, sama halnya dengan konflik.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam
suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut
ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Banyak rakyat dan
pemimpin negara yang mempunyai argumen masing-masing untu kepentingannya. Namun
Kadang juga secara terioristis, perbedaan kepentingan dapat menimbulkan masalah
yang besar bagi orang yang melakukanya. Dipandang sebagai perilaku, konflik
merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual,
interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi. Konflik ini terutama
pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. Ada pun
dibawah ini yang merupakan bagian dari faktor penyebab konflik :
Perbedaan individu,
yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Perbedaan latar
belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Perbedaan kepentingan
antara individu atau kelompok.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Namun dibalik konflik
tersebut terdapat sebuah Lubang hitam yang begitu besar yang bisa menghantui
siapa saja , dibawah ini merupakan akibat dari konflik :
meningkatkan
solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan
kelompok lain.
keretakan hubungan
antar kelompok yang bertikai.
perubahan kepribadian
pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
Prasangka (prejudice)
diaratikan suatu anggapan terhadap sesuatu dari seseorang bahwa sesuatu itu
buruk dengan tanpa kritik terlebih dahulu.
Diskriminasi merujuk
kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan
ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut.
Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat
manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan
yang lain.
Ethosentrisme yaitu
suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya
sendiri sebagaai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan diepergunakan sebagai
tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau
menilai kelompok lain dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap
etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.
NAMA : MUHAMAD HIJRAH WAHYU MAHDIKA
KELAS : 1KA07
NPM : 15113726
G.
Referensi
http://dwikyreza.wordpress.com/2010/11/12/pertentangan-pertentangan-sosial-dan-integrasi-masyarakat/